Assalaamu’alaikum
warahmatullaahi wa barakaatuh.
Kita semua pasti tahu apa itu
memancing, ketika di sebutkan kalimat “memancing” pasti yang terbayang di benak
kita adalah ikan dan juga kail, saat kita memancing untuk mendapatkan ikan,
kita pasti memerlukan umpan. Nah, seperti itu juga dalam belajar tidak jauh
berbeda dengan memancing.
Jika memancing membutuhkan umpan,
maka dalam belajar atau menuntut ilmu juga perlu umpan. Umpan untuk memancing
adalah ulat atau bisa juga ikan-ikan kecil, tetapi umpan dalam belajar bukanlah
ulat maupun ikan-ikan kecil, akan tetapi umpan yang di maksud adalah buku. Maka
timbullah pertanyaan, juka buku sebagai umpan, lalu seorang guru di ibaratkan
apa dalam memancing? Jiak buku sebagai umpan dalam belajar, maka guru di
ibaratkan sebagai lautannya. Kemudian timbul pertanyaan-pertanyaan yang lain,
mana yang di katakan kail dan apa kendaraanya dalam belajar? Kecerdasan adalah
kailnya dan lembaga seperti sekolah, perguruan tinggi maupun universitas adalah
kendaraannya dalam belajar.
Semakin jauh dan dalam sebuah
lautan, maka ikan yang ada di dalamnya juga akan semakin besar, untuk
mendapatkan ikannya juga di perlukan kail yang berbeda. Jika di pinggir pantai
kita memancing dengan umpan yang kecil, kail yang tidak terlalu panjang dan
hanya menggunakan perahu sederhana, itu sesuai dengan yang ingin kita tangkap,
yaitu hanya ikan-ikan kecil yang ada di perairan dangkal.
Namun apabila kita ingin
menangkap ikan-ikan yang lebih besar, kita harus mempersiapkan umpan yang lebih
besar dan lebih menarik, kail yang di gunakan juga harus lebih panjang dan kuat
dengan menggunakan perahu modren yang lebih besar dan di lengkapi mesin yang
canggih supaya cepat sampai ke tujuan atau kelaut lepas yang lebih dalam.
Di bangku SD dengan kecerdasan
kita yang masih minim, kita hanya di ajarkan dengan pelajaran-pelajaran dasar,
yaitu hanya pengenalan pengenalan saja, seperti pengenalan angka, huruf dan
lain sebagainya. Karena tidak mungki seorang anak SD yang hanya memiliki
kecerdasan minim dan masih terbatas menerima pelajaran tinggi yang lebih sulit,
seperti mendapatkan tugas makalah, proposal, skripsi dan lain sebagainya, semua
itu tidak mungkin di kerjakan dengan kemampuannya yang masih minim tersebut.
Lain halnya seseorang yang sudah
duduk di perguruan tinggi, dengan kecerdasan yang semakin luas, ilmu yang di
pelajari dan buku yang di miliki seseorangpun akan semakin khusus, akan tetapi,
setiap buku yang di baca seseorang tidak semua dapat di pahami dan di
mengertinya begitu saja, namun harus ada yang menjelaskan dan menerangkan
kepadanya agar dapat lebih mengerti dan di pahami pada bagian yang belum di
mengertinya tersebut, maka di butuhkanlah yang namanya guru agar ilmu yang kita
dapatkan akan semakin maksimal, karena itulah saya mengaakan bahwa buku itu
sebagai umpan dan guru sebagai lautannya dalam belajar yang mana ilmu yang
ingin kita dapatkan di ibaratkan ikannhya.
Bicara tentang ilmu, saya
teringat kepada guru saya yang bernama “KH.Ahmad Mahfudz.” Beliau pernah mengatakan
kepada kami (murid-muridnya), yang mana pada saat itu jam pelajaran mahfuzhat,
beliau mengatakan: “Imam Syafi’i pernah berkata kepada murid-muridnya: wahai
anak-anakku, kamu sekalian tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan enam
perkara, akan aku jelaskan kepada kalian semua, yang pertama dengan kecerdasan,
kedua dengan ketamakan ( terhadap ilmu ) ketiga dengan bersungguh-sungguh, yang
keempat uang atau harta, kelima bersahabat dengan guru dan yang keenam waktu
yang panjang.” Milikilah keenam syarat ini jika tidak minimal harus ada satu
pada diri kita.” Begitulah yang beliau katakan kepada kami semua.
Terkadang kita sering mengeluhkan
dalam menuntut ilmu, kenapa setiap pelajaran yang kita ikuti hampir tidak
pernah bahkan tidak masuk sama sekali ilmu di ingatan kita, atau bahkan kita
sering mudah lupa, lalu timbula pertanyaan, kenapa saya susah untuk menyerap
ilmu, kenapa saya mudah lupa dengan pelajaran yang telah di pelajari,
bagaimana, apa yang harus saya lakukan, dimana dan kapan harus saya lakukan?
Masalah sebenarnya simpel, tetapi kita sendilah yang memberatkannya, dan cara
mengatasinya pun sebenarnya mudah, namun apakah kita mau atau tidak
mengerjakannya, itulah sebenarnya yang harus kita pertanyakan pada diri kita
sendiri.
Pertama kali yang harus kita
lakuakan adalah memasang niat yang baik niat yang kuat dalam menuntut ilmu,
karena setiap apapun yang di awali dengan niat yang baik dan kuat maka hasil
yang di peroleh pun akan baik dan memuaskan, sebagaimana kalimat yang sering
kita dengar “sesungguhnya setiap perbuatan itu tergantung pada niat”. Yang
kedua yang harus di lakukan adalah mencintai pelajaran dan juga guru yang
mengajarkannya, karena setiapa apapun yang kita cintai dan kita sukai, secara
otomatis kita pasti selalu ingin tahu dan selalu cari tahu hal yang kita
cintai, inilah yang di katakan bersahabat pada guru salah satu syarat menuntut
ilmu menurut imam Syafi’i yang baru saya terangkan di atas tadi. Yang ketiga
adalah bersunguh-sungguh, setiap pekerjaan apapun yang kita lakuan bukan dengan
kesungguhan, jangan berharap akan mendapatkan apa yang kita harapkan, namun hal
tersebut hanya akan menjadi khayalan dan angan semata, ingatlah dengan kalimat
ini “man jadda wa ja (barang siapa bersungguh-sungguh maka ia pasti akan
mendapatkannya)” batu saja yang begitu kerasnya apa bila di timpahin tetesan
hujan dengan terus menerus lama-lama pasti akan membekas juga, apa lagi kita
sebagai manusia yang memiliki akal fikiran, jika kita bersungguh-sunggu dalam
belajar pasti kita akan mendapatkan hasilnya. Yang keempan jangan merasa puas,
dalam menuntut ilmu kita harus tamak harus serakah, tamak ataupun serakah dalam
menuntut ilmu itu di bolehkan bahkan di haruskan, inilah yang di katakan tidak
pernah merasa puas dalam menuntut ilmu, jika seseorang telah puas terhadap
ilmu, maka inilah yang di katakan ciri-ciri orang yang tidak mau maju dan tidak
akan pernah maju, bahkan mendengarkan pepaah arab mengatakan “tuntutlah ilmu
walaupun ke negri china” apa artinya itu? Itu artinya kita di suruh mencari, mencari
dan terus mancari ilmu. Mungkin bagi kita ilmu yang kita miliki sudah banyak,
sudah tinggi atau kitalah yang paling berilmu di daerah kita, namun ketahuilah
bahwa di luar sana masih banyak lagi yang lebih hebat yang lebih tinggi lagi
ilmunya dari pada kita, jika kita keluar maka tahulah kita bahwa ilmu yang kita
miliki tidak ada apa-apanya di bandingkan mereka di luar sana, kita akan
menjadi seperti bintang yang bersinar di siang hari. Yang kelima harus
kontiniu, selain bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu kita juga harus terus
menerus harus berkelanjutan dan jangan pernah berhenti, makanya waktu yang
panjang merupakan salah satu syarat dalam menuntut ilmu, bukan hanya di bangku
sekolah maupun di bangku perguruan tinggi, akan tetapi dalam menuntut ilmu
bahkan sampai akhir hayat kita “tuntutlah ilmu dari buaian sampai keliang
lahat” maka dalam menuntut ilmu juga harus memiliki kesabaran, karena dalam
menuntut ilmu bukanlah waktu yang singkat.
Sekolah? Sebenarnya sekolah itu
bukan hanya di Madrasah, di SD di SMP, di SMA maupun di Perguruan Tinggi saja,
sekolah itu bisa di mana saja, karena arti Sekolah itu sendiri sebenarnya
meluangkan waktu untuk belajar. Jadi setiap kita ada waktu luang di manapun
kita berada kemudian kita belajar sesuatu itu yang di namakan sekolah. Makanya
di dalam sekolah kita ada mengenal istilah sekolah formal, informal maupun
nonformal. Misalnya, pada saat kita terbangun subuh selesai shalat subuh kita
ingin mengulang atau mempelajari pelajaran kita yang kemaren, karena menurut kita
pada saat subuh pikiran kita masih jernih dan bersih jadi mudah untuk mengingat
pelajaran tersebut, kemudian kita mengulanginya pada saat subuh di rumah, itu
juga namanya sekolah. Kemudian ketika kita di luar gabung bersama teman-teman
yang ingin memancing, lalu kita tanyakan kepadanya kemudian kita pelajari
bagaimana cara memancing dengan baik, itu juga di namakan sekolah. Begitu juga
ketika kita belajar di sebuah perguruan tinggi, itu juga namanya sekolah. Jadi
sekolah ataupun belajar bisa di mana saja dan kapan saja.
Terkadang kita sering
mendengarkan bahkan kita sendiri pasti pernah mengeluhkannya, sebagian dari
kita sudah mealkukan langkah-langkah yang sesuai dalam menuntut ilmu, seperti
memasang niat yang mantap, belajar sungguh-sungguh, mencintai pelajaran dan
guru yang mengajarkannya dan bersabar sehingga kita mampu bertahan dan tidak
pernah putus asa hingga sampai saat ini, tapi kenapa ilmu yang kita dapatkan
belum pernah maksimal atau hanya sedikit yang kita dapatkan dari sekian banyak
pelajaran yang pernah kita pelajari selama ini, mungkin itu yang kita pikirkan
dan kita rasakan. Ketika kita sudah melakukan semua itu dan kita masih belum
mendapatkan hasil yang maksimal atau tidak sesuai dengan yang kita harapkan,
maka peran yang paling penting dalam hal ini ialah mengintrofeksi diri, kita
harus melihat kepada diri kita sendiri apa yang sselama ini telah kita lakukan
sehingga susah mendapatkan ilmu walaupun semua usaha sudah kita lakukan.
Mungkin selama ini kita banya melakukan kesalahan, baik kepada orang lain,
orang tua kepada Allah maupun kepada diri sendiri, bisa jadi karena dosa yang
terlalu banyak yang telah kita perbuat selama ini. Memang, menurut kita dosa
besar tidak kita lakukan, dosa kecil, apakah kita tidak tahu apakah tidak kita
lakukan, kaerna dosa-dosa kecil seperti inilah yang membuat kita terlena baik
yang di sengaja maupun tidak. Perbuatan dosa kecil kita selalu anggap sepele,
padahal perbuatan seperti inilah yang lama-lama menjadikan hati kita gelap.
Pertama satu titik kecil hitam ada di hati, dua titik, tiga, emapat dan
seterusnya sehingga membentuk sebuah titik hitam yang besar di hati kita,
inilah yang menjadi penghalang masuknya cahaya ilahi di hati kita. Karena
itulah kenapa terkadang kita susah menerima ilmu dari seorang guru, karena
sesungguhnya “al_’ilmu nuurun wa nuurullaah laa yuhda lilma’ashi ( ilmu itu
adalah cahaya dan cahaya Allah tidak akan di berikan kepada orang yang berbuat
maksiat)”.
Akhiirulkalam assalaamu’alaikum warahmatullaahi wa
barakaatuh.